Bismillahirrahmaanirrahiim,
Segala puji bagi Allah, Dzat pencipta dan penguasa semua yang ada, pernah ada, dan akan ada. Dialah sang Ahad, padaNya bergantung setiap sesuatu, padaNya semua mahluk berharap, padaNya setiap yang bernyawa meminta. Tidaklah dia beranak dan tidak pula diperanakan. Sungguh Dialah Allah, Dzat yang Maha atas segalanya, tak ada yang layak di persamakan denganNya apalagi melebihinya.Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada sang teladan manusia, guru manusia, imamnya para nabi, baginda yang mulia Muhammad salallahu `alaihi wa alihi wa salam, juga kepada para shahabatnya, para tabi`in, para `ulama terdahulu dan kemudian, juga kepada siapa saja yang bersunnah dengan sunnahnya, berda`wah seperti baginda nabi berda`wah, dan berjihad dengan sebenar-benarnya jihad hingga sampai suatu hari yang tak ada lagi hari di dunia ini setelah hari itu.

Melihat sebuah judul yang bertengger diatas, hati saya tergetar kala membacanya bahkan hingga berulang-ulang, tangis inipun tak terelakan kala menyadari betapa sebuah kata yang berarti sangat dalam, tapi sungguh masih jauh panggang dari api manakala melihat keadaan diri pribadi dengan apa yang dituliskan dalam judul diatas, dia baru mulai jadi angan-angan, bahkan mungkin juga baru mulai jadi angan-angan pada setiap kita.Saudaraku, izinkan tulisan ringan ini saya buat, semata menasihati diri saya yang tengah kerontang dari kesuburan iman, yang tengah basi dari lezatnya munajat, yang tengah kering dari basahnya dzikir, dan tengah miskin dari kekayaan amal shalih yang hanya pamrih untuk Allah saja, tak ada selainNya.

Ikhlas berarti membersihkan tujuan beribadah kepada Allah SWT dari segala noda yang mengotorinya, memfokuskan ibadah hanya kepada Allah SWT, Ikhlas merupakan syarat diterimanya amal shalih yang berlandaskan sunnah Rasulullah saw. Dan Allah senantiasa memerintahkan kita untuk selalu ikhlas dalam beramal, firmanNya :

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam[menjalankan] agama yang lurus” [QS. 98:5].

Ikhlash, adalah parameter keberhasilan setiap langkah amal, adalah bukti kecintaan, adalah bukti kualitas diri seorang hamba dihadapan Khaliqnya. FirmanNya ;Katakanlah : “Dialah Allah yang ahad. Allah tempat bergantung segala seuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula di pernakan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”Sebuah tonggak Aqidah yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW kepada para shahabat beliau. Seperti halnya juga tonggak aqidah yang diajarkan oleh nabi-nabi sebelum Rasulullah SAW kepada ummat-ummat mereka, PENGESAAN ALLAH..!Demikianlah Allah mengajarkan kepada kita semua dalam penghambaan dan ketaatan kepadaNya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah, dikisahkan :Ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah dan bertanya : “apa yang akan diperoleh oleh seseorang yang berjuang karena ingin mendapatkan imbalan dan popularitas, yaa Rasulullah ?” Beliau (Rasulullah SAW) menjawab : “dia tidak akan mendapatkan apa pun”, lalu orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali dan Rasulullah tetap menjawab dengan jawaban yang sama, kemudian bersabda : “Allah hanya menerima amal yang disertai dengan keikhlasan dan karena ingin mencari ridhaNya”. [Hr. Abu Daud dan Nasa’i dengan sanad hasan]Ramadhan, sang tamu agung yang sekarang sedang bersama kita. Sangatlah layak kalau kita berguru padanya tentang sebuah makna ikhlash. Bagaimana tidak, ramadhan yang didalamnya ada shaum, ada qiyamurramadhan, ada laitaul Qadr dan ada amal-amal shalih lain yang dilakukan semata karena Allah tanpa peduli dengan pujian atau sanjungan orang lain.

Ikhlash tidak berarti melaksanakan sesuatu tanpa pamrih, tetapi ikhlash adalah melandaskan setiap amal kita dengan pamrih hanya kepada Allah, dengan mengharap ridha Allah (mengalihkan pamrih kita dari selain Allah kepada pamrih untuk mengharapkan ridha Allah). Seperti tercermin dalam hadits yang masyhur tentang niat.

Telah berkata Ummar Ibn al Khattab Abu Hafs al Amiirul mu`miniin R.A. bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya setiap amal itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap urusan didasarkan pada niatnya. Barang siapa yang berniat hijrah karena Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah berhijrah karena Allah dan RasulNya. Akan tetapi, barang siapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau perempuan yang hendak ia nikahi, maka sesungguhnya hijrahnya itu untuk apa yang ia niatkan" atau seperti apa yang disampaikan Rasulullah SAW. Hadits ahad dari Ummar Ibnul Khattab R.A, dengan derajat shahih melalui riwayat Bukhari dan Muslim.

Saudaraku, demikian indahnya Rasulullah SAW. menggambarkan sebuah keikhlashan dihadapan para shahabat yang dalam keadaan penekanan oleh kafir Quraish dan hijrahnya mereka dari makkah dengan tidak membawa barang-barang dunia yang layak untuk hidup mereka di tempat baru, kecuali hanya iman mereka kepada Allah, rasulNya, dan hari akhir.Saudaraku, mu’min yang ikhlash bukan saja akan disenangi saudaranya yang mu’min, tetapi juga disegani oleh iblish sekalipun. Ikhlash-lah yang menyelamatkan setiap mu’min dari tipudaya iblish laknatullah, seperti firman Allah :

Iblis menjawab : "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya. Kecuali hamba-hambaMu yang mukhlish diantara mereka.“ (QS. Shaad, 38 : 82-83)

Sungguh hanya dengan amal yang ikhlash-lah yang mampu membentuk pribadi muslim yang mutakamil, yang shalih dan men-sholihkan, seperti mutiara yang mengatakan :"Setiap manusia itu binasa, kecuali orang-orang yang berilmu. Dan setiap mereka yang berilmupun binasa, kecuali orang-orang yang ber`amal. Dan setiap mereka yang ber`amalpun binasa, kecuali mereka yang ikhlash dalam amalnya"Namun saudaraku, ternyata jalan menuju ikhlash tidaklah mulus, tetapi justru sangat banyak onak dan duri yang bertebaran dijalannya. Sungguh amat banyak tipu muslihat yang siap menggelincirkan setiap kita dari ber’amal ikhlash, dari mulai ta’ajub pada kelebihan diri sendiri, riya dan sum’ah, hingga menyombongkan diri dihadapan Allah azza wajalla.Seorang sholih Muhammad bin Sirrin mengatakan :"Sungguh telah riya orang yang ber’amal hanya karena ingin dilihat orang, dan orang yang tidak jadi beramal karena takut dilihat orang pun telah dijangkiti penyakit riya“Jika demikian, bagaimana kita harus ber’amal ?

Dan Katakanlah : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.“ (QS. At Taubah, 9 : 105)

Seseorang yang ber’amal dikatakan ikhlash, manakala ia ber’amal sama banyak dan kualitasnya baik ketika dikeramaian orang maupun disaat sendirian, bahkan ia meningkatkan kualitas amalnya disaat-saat sendirian karena kecintaanya kepada Allah.

Saudaraku, membangun pribadi menjadi ikhlash seperti berjalan diatas jalanan yang dipenuhi duri, sedikit saja kita salah melangkah, maka kaki akan tergores dan sakit. Semakin sering kita salah melangkah, bukan tidak mungkin kalau akhirnya kita harus terkapar ditengah jalan sebelum sampai pada tujuan akhir perjalanan kita.Ada beberapa hal yang perlu kita tanamkan dalam jiwa setiap kita, manakala kita berharap menjadi manusia yang ikhlash, mukhlish.

1. Kuatkan komitmen hati
Hati adalah pangkal segala amal, tempat niat kita tanamkan. Maka tancapkanlah niat kita untuk senantiasa mengikhlashkan setiap langkah kita hanya karena Allah. Karena Allah-lah satu-satunya dzat yang kekal dan satu-satunya harapan. Sungguh akan sangat rugi jika setiap amal yang kita lakukan hanya karena pamrih sesuatu yang sifatnya nisby, bagai fatamorgana.

2. Ber’amal tanpa henti
Setiap kita diperintahkan Allah untuk tidak pernah berhenti dalam ber’amal.

"Apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Rabbmu hendaknya kamu berharap“ [QS. 94 : 7-8]

Sangatlah logis jika seorang muslim sibuk dengan amal-amal sholih, maka tak ada lagi kesempatan bagi dirinya untuk membanggakan amal-amalnya karena semua waktu sudah habis terisi oleh ama-amal sholih. Sedang mereka yang beramal sedikit dan lebih banyak meluangkan waktu dalam kesehariannya, sangat mungkin untuk lebih banyak bercerita tentang amal-amal yang pernah ia lakukan sembari membanggakan diri dengan amal-amalnya itu. Pepatah arab menangatakan :"Serahkanlah urusan itu kepada mereka yang sibuk, niscaya ia akan selesai dengan baik“Demikianlah, karena mereka yang terbiasa sibuk sudah lihai dalam mengatur waktu dan memprogram kegiatan-kegiatan yang positif dalam mengisi hari-harinya.

3. Tawakkal pada Ilahi
“Apabila kamu sudah berazam, maka bertawakkal-lah pada Allah…”Seorang yang ikhlash tidak akan surut dan berkecil hati manakala pekerjaan yang ia lakukan belum membuahkan hasil seperti apa yang diharapkannya, akan tetapi ia akan terus berusaha sepenuh kemampuannya untuk melaksanakan semua program yang telah dirancangnya, lalu ia tutup amal sholihnya dengan tawakkal (menyerahkan urusan hasilnya) kepada Allah.„Hasil“ sebagai buah karya yang kita senantiasa dambakan acapkali berbeda dengan apa yang kita harap-harapkan. Setiap mu’min hendaknya sadar bahwa hasil bukanlah haq kita untuk mengurusinya, tapi ia merupakan hak Allah dan hanya Allah-lah yang akan mengaturnya, memberikannya langsung,menundanya, atau bahkan tidak memberikannya. Semata kita sebagai hamba hanya berhaq berhusnuzhan pada Allah atas apapun hasil yang nampak dari buah kerja kita (setelah melalui perencanaan yang matang tentunya), sebab hak kita adalah bekerja dan bekerja, merencanakan dengan baik program kita lalu melaksanakannya dengan baik pula, seperti telah dikutif dari surat At Taubah : 105 dan Alam Nashrah : 1-8 diatas.

4. Muhasabah tuk evaluasi diri
Ini adalah hal penting yang senantiasa harus ada pada setiap kita. Senantiasalah kita melakukan evaluasi diri, koreksi pribadi, dan membuat perencanaan bekal yang memadai untuk menemui Allah SWT di mizan nanti.„Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah. Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dipersiapkannya utuk hari esok..“Ummar ibnul Khattab R.A. mengatakan :"Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab...“Muhasabah, adalah bentuk keikhlasan seorang hamba yang merasa dirinya tidak pernah lebih dari yang lainnya, bahkan amat sangat banyak kekurangannya sehingga setiap saat ia harus senantiasa melakukan koreksi dan evaluasi demi kebaikan dan peningkatan amal shalihnya dimasa yang akan datang.

Saudaraku, semoga Allah memberikan kita cahaya petunjuk dan menguatkan kita untuk senantiasa ber’amal shalih dengan mengikhlashkan diri hanya padaNya.

Andai saja raga ini milikku
Niscaya kan kurobek ia hingga lumat lalu kubuatkan yang baru
Andai saja jiwa ini milikku
Niscaya kan ku cerabut ia dari raganya lalu kuganti dengan yang baru

Andai semua yang ada padaku adalah milikku
Maka akan kulakukan semua yang kumau
Dan tak akan tersisa sedikitpun dari bersit pikiran ini agar menjadi nyata
Hatta ia sebuah kegilaan yang amat gila...!

Tapi sayang...
Raga ini bukan milikku
Jiwa ini pun bukan punyaku
Dan setiap gelinjang keinginan ini tidaklah berhak sepenuhnya atas jiwa dan ragaku
Kecuali hanya sedikit dari sepersekian juta hak yang ada

Harus kupenuhi hak jiwa dan ragaku
Harus kutunaikan hak pemilik jiwa dan ragaku
Karena Allahlah yang memberiku asa
Karena Dia yang memberiku kuasa
Bahkan untuk kuasa nafas dan kehendakpun aku tak kuasa..

Lalu mana yang ku punya..?
Tak Ada..!!!
Kecuali hanya angan nisbi di juntai pelangi
Dan bayang keinginan yang menumbuki pagi
Hingga hanya padaNya...UntukNya...KarenaNya...
Dan diatas KuasaNyaKita ada dan tiada..

Rasulullah menatap satu persatu para sahabat yang sedang berkumpul dalam majelis, hening dan tawadlu. “Ya Rasulullah”, ujar salah seorang hadirin memecahkan keheningan. “Bila pertanyaanku ini tidak menimbulkan kemarahan bagi Allah, sudilah engkau menjawabnya”. “Apa yang hendak engkau tanyakan itu”, tanya Rasulullah dengan nada suara yang begitu lembut. Dengan sikap yang agak tegang si sahabat itupun langsung bertanya: “Siapakah diantara kami yang akan menjadi ahli surga?” Tiba-tiba, bagai petir menyambar, jiwa-jiwa yang tadinya tawadlu, nyaris menjadi luka karena murka. Pertanyaan yang sungguh keterlaluan, setengah sahabat menilainya mengandung ujub (bangga atas diri sendiri) atau riya’. Adalah Umar bin Khattab yang sudah terlebih dahulu bereaksi, bangkit untuk menghardik si penanya. Untunglah Rasulullah menoleh ke arahnya sambil memberi isyarat untuk menahan diri.

Rasulullah menatap ramah, beliau dengan tenangnya menjawab: “Engkau lihatlah ke pintu, sebentar lagi orangnya akan muncul”. Lalu setiap pasang matapun menoleh ke ambang pintu, dan setiap hati bertanya-tanya, siapa gerangan orang hebat yang disebut Rasulullah ahli surga itu. Sesaat berlalu dan orang yang mereka tunggupun muncul. Namun manakala orang itu mengucapkan salam kemudian menggabungkan diri ke dalam majelis, keheranan mereka semakin bertambah. Jawaban Rasulullah rasanya tidak sesuai dengan logika mereka. Sosok tubuh itu tidak lebih dari seorang pemuda sederhana yang tidak pernah tampil di permukaan. Ia adalah sepenggal wajah yang tidak pernah mengangkat kepala bila tidak ditanya dan tidak pernah membuka suara bila tidak diminta. Ia bukan pula termasuk dalam daftar sahabat dekat Rasulullah. Apa kehebatan pemuda ini? Setiap hati menunggu penjelasan Rasulullah. Menghadapi kebisuan ini, Rasulullah bersabda:

“Setiap gerak-gerik dan langkah perbuatannya hanya ia ikhlaskan semata-mata mengharapkan ridla Allah. Itulah yang membuat Allah menyukainya”.

Betapa tinggi nilai ikhlas dalam amal perbuatan seseorang, sampai Rasulullah menyebutkan sebagai salah satu syarat ahli surga. Posisi ikhlas dalam Islam memang sangat penting, karena ikhlas dianggap sebagai ukuran amal seseorang. Allah SWT berfirman:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Al Bayyinah: 5)

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan ? (An-Nisa’: 125)

Sekarang marilah kita ber-muhasabah dan menilai diri kita sendiri, “Sudahkah kita ikhlas dalam setiap amal perbuatan kita ?”

Ikhlas ditinjau dari sisi lughawi berasal dari kholusho, yaitu kata kerja intransitif yang artinya bersih dan murni, atau bisa juga diartikan tidak ternoda (terkena campuran). Selanjutnya setelah mengalami penambahan huruf menjadi akhlasho maka kata itu berubah menjadi transitif yang berarti membersihkan atau memurnikan. Menurut Imam Al Ghazali ikhlas memiliki lawan kata isyrak (menyekutukan). Jadi siapa yang tidak ikhlas dalam beramal, sebenarnya telah berbuat syirik, tentu saja tergantung tingkatan dari syirik tersebut.

Ikhlas dan lawannya senantiasa datang kepada hati, dan tempatnya adalah hati, sehingga ikhlas berkenaan dengan tujuan dan niat seseorang. Secara umum banyak ulama mengatakan bahwa amalan hati lebih penting dan ditekankan daripada amalan lahiriyah.

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Bahwasanya amalan hati merupakan pokok keimanan dan landasan utama agama, seperti mencintai Allah dan rasulNya, bertawakal kepada Allah, ikhlas dalam menjalankan agama semata-mata karena Allah, bersyukur kepadaNya, bersabar atas keputusan atau hukumNya, takut dan berharap kepadaNya, dan ini semua menurut kesepakatan para ulama adalah perkara wajib”. Sedangkan Ibnu Qayyim menyatakan bahwa: “Amalan hati merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna”.

Pada hakekatnya, niat adalah sesuatu yang mengacu kepada berbagai respon berbagai hal yang membangkitkan. Apabila faktor pembangkitnya hanya satu, maka perbuatan itu disebut ikhlas dalam kaitannya dengan apa yang diniatkan, yaitu Allah. Siapa yang tujuannya semata-mata untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah maka dia disebut orang yang mukhlish.

Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). (Az-Zumar: 2-3)

Apabila faktor pembangkit tersebut ada dua atau lebih, maka sudah bisa dikategorikan bahwa tanda-tanda tidak ikhlas telah muncul ke dalam hati kita. Faktor pembangkit lain dalam amal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:

Riya’, yang berarti memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
Sum’ah, yang berarti beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
Ujub, masih termasuk kategori riya’, hanya saja Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: Riya’ masuk didalam bab menyekutukan Allah dengan makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri sendiri.

Kalau kita mau jujur, ikhlas dalam amal adalah sesuatu yang cukup sulit kita lakukan, dan perlu usaha terus menerus untuk melatih, dan mengevaluasinya secara terus menerus. Riya’, sum’ah dan ujub adalah penyakit hati yang bukan monopoli umat Islam secara umum. Seseorang mujahid yang pergi jihad, ataupun seorang da’i (ustadz) yang pergi berdakwah pun harus selalu membersihkan diri supaya terhindar dari penyakit hati ini. Da’i atau ustadz yang pergi berdakwah bisa rusak keikhlasannya dalam tiga keadaan waktu:


Rusak di awal. Ketidakikhlasan pada awal ialah berniat ingin popular, terkenal, mencari uang semata, untuk menghantam orang lain, dsb. Apabila semua ini terlintas di hati, maka seluruh amalannya itu tertolak, ibaratnya bagaikan kita melukis di atas air. Tidak ada pahala amalan tersebut untuk kita.
Rusak di tengah. Contohnya semasa sedang ceramah melihat orang ramai mengangguk-angguk dan begitu khusyuk mendengar, maka merasa diri hebat (ujub). Ibaratnya bagaikan kita membangun rumah yang tidak pernah jadi-jadi, karena gangguan di sana dan disini.
Rusak di akhir. Selepas ceramah, dalam perjalanan pulang ada orang yang memuji, maka hati menjadi berkembang-kembang. Pada waktu itulah sifat ujub datang, dan kita lupa bahwa semuanya adalah dari Allah, dan lupa bahwa kita beramal adalah untuk Allah semata. Ibaratnya rumah yang sudah dibangun dan bentuknya sangat indah, tiba-tiba runtuh rata dengan tanah.

Dalam suatu hadits dinyatakan, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur’an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori’ atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut, akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka. Na’udzu billah min dzalik.

Sekali lagi sebelum terlambat segala sesuatunya, sebelum datang keputusan akhir dari Allah kepada kita, dan sebelum akhirnya kita dihisab oleh Allah, marilah kita menghisab diri dan hati kita, “Ikhlaskah saya dalam beramal ?”

“Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kaumu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfal:63).

Berkenaan dengan upaya peningkatan ukhuwah Islamiyah ini, saya ingin share satu uraian yang saya rangkum dari tulisan Dr. AbduLlah Nasikh 'Ulwan dalam bukunya "Ukhuwah Islamiyah". Tulisan yang dilandasi dengan pengalaman beliau di lapangan da'wah, merinci tahapan-tahapan (marahil) yang pernah ditempuh oleh RasuluLlah dan para sahabat, dan selayaknya merupakan dasar pijakan kita dalam membina ukhuwah Islamiyah, di negeri manapun kita berada. Program penguatan ikatan ukhuwah Islamiyyah membutuhkan proses yang tidak singkat, bertahap dan berkesinambungan. Setidaknya ada empat tahap yang mesti dilalui sebelum terwujudnya ukhuwah Islamiyyah yang benar-benar kuat dan utuh.

1. Tahap Saling Kenal (Ta'aruf).Dalam tahap ini, seorang muslim tidak hanya mengenal begitu saja saudaranya; akan tetapi lebih jauh mencoba mengenali penampilan, sifat-sifat (shaksiyah) dan pemikiran saudaranya. pengenalan dalam tahap ini mencakup aspek jasadiy (fisik), fikriy(pemikiran) dan nafsiy (kejiwaan).

2. Tahap Saling Memahami (Tafahum). Ini merupakan tahap yang penting, karena mencakup berbagai proses penyatuan. Seperti juga dalam fase pertama, ruang lingkup proses tafahum ini kurang lebih sama. Perbedaannya terletak pada intensitas pengenalan. Pada tahap ini, setiap muslim dituntut untuk memahami kebiasaan, kesukaan, karakter, ciri khas individu dan juga cara berpikir saudaranya. Dengan demikian perasaan perasaan seperti "tidak enak", "tidak cocok" dan lain sebagainya dapat dieliminasi dalam rangka saling menasehati. Dalam tahapan ini terdapat tiga buah proses perpaduan, yang meliputi:

2.1. Perpaduan hati (Ta'liful Qulb).Penyatuan hati merupakan asas awal yang mesti ada dalamproses pembentukan ukhuwah, sebab hati (qalbu) merupakan sumber gerak dan sikap seseorang dalam menilai, memilih, memilah, mencinta dan membenci orang lain. Bila hati telah terpaut dan jiwa telah terpadu, barulah persaudaraan seseorang dengan yang lainnya bisa berjalan mulus, bersih dan penuh rasa kasih. Hati manusia hanya bisa disatukan secara murni dan bersih apabila bermuara pada satu simpul ikatan yang fitrah. Simpul tali itu adalah aqidah (seperti yang telah dibahas Abu Zahra). Inilah satu-satunya dasar berpijak, bertemu dan pengikat yang utuh dan abadi (Ali Imran:103).

2.2. Perpaduan Pemikiran (Ta'liful Afkar).Dalam proses ini, orang-orang yang sudah sehati sepatutnya berhimpun bersama untuk mempelajari suatu sumber yang sama sehingga menghasilkan suatu fikrah (cara berfikir) yang serupa. Dan yang jauh lebih penting adalah bila terjadi perbedaan cara pandang, maka dengan starting point cara berpikir yang sama akan dapat diselesaikan dengan segera, sehingga dapat meningkatkan efektifitas kerja. Ikatan ukhuwah Islamiyyah adalah ikatan yang aktif dan dinamis dalam menegakkan kalimat ALlah. Untuk itu diperlukan tidak hanya sekedar hati yang ikhlas tetapi juga gagasan, pemikiran, konsep dan idealisme yang cemerlang. Meskipun sekelompok individu telah saling mengikatkan diri, sehati dan sejiwa; namun karena terdapat perbedaan orientasi dan wawasan pemikiran, maka strategi dan taktik pun menjadi berantakan. Akhirnya kerja berakhir pada kegagalan dan kekalahan. Oleh karena itulah tahap "penyatuan pemikiran" ini mutlak adanya.

2.3. Perpaduan Kerja (Ta'liful 'Amal)Individu-individu yang telah berhimpun di atas persamaan tujuan dan pemikiran ini, tidak boleh hanya berdiam diri saja atau bekerja sendiri-sendiri (single fighter). Adalah merupakan sunatuLlah bahwa segala yang diam di tempat, cenderung menjadi penyakit. Air yang tergenang bisa menjadi sumber penyakit, demikian pula dengan kumpulan individu yang bersemangat tinggi dan memiliki setumpuk gagasan cemerlang, akan menjadi "penyakit" bila tidak ada langkah kerjanya. Oleh karena itu sangat perlu adanya kerja nyata dalam berbagai bidang dan keahlian. Agar kerja itu efektif, maka harus terakit dalam suatu kerja yang terarah.

3. Tahap Saling Tolong (Ta'awun).Dalam proses penyatuan kerja, mutlak diperlukan adanya tolong-menolong yang merupakan kelanjutan dari tahap tafahum (saling memahami) pada point 2 di atas. Saling kenal saja, tanpa dilanjutkan dengan saling memahami, tidak akan mampu membentuk hubungan antar individu yang mampu tolong menolong, saling isi-mengisi dengan kekurang dan kelebihan yang terdapat pada tiap individu.

4. Rasa Senasib Sepenanggungan (Takaful).Tahap ini merupakan muara dari proses ukhuwah Islamiyyah yaitu terletak pada timbulnya rasa senasib dan sepenanggungan, suka maupun duka, dalam tiap langkah kerja. Bila fase takaful ini terwujud, maka ikatan ukhuwah Islamiyyah pun terbentuk dengan utuh.
Ikhwan/akhwat fiLlah, dari rangkuman ini dapat kita lihat bahwa upaya penyatuan pribadi-pribadi muslim dalam suatu kerja Islami adalah merupakan perbuatan yang sia-sia, bila tidak diawali dengan tahapan dan proses yang telah disebutkan di atas.

Sebagai wanita muslimah yang beragama Islam, tentunya dapat disadari bahwa setiap seorang yang beragama Islam, ia harus patuh tunduk kepada aturan yang ada dalam hukum Islam jika tidak maka ia akan mendapatkan sangsi atas tindakan yang dilanggarnya tersebut. Contohnya saja, dalam hukum positif setiap tindakan yang melanggar aturan hukum yang telah ada, maka si pelanggar tadi mendapatkan sangsi yang telah ditetapkan oleh pembuat hukum. Begitupula dalam Islam, wanita muslimah merupakan seseorang yang mendapat beban (mukallaf) untuk menerima semua aturan hukum yang ada yang diciptakan oleh pembuat hukum Islam (Haakim/ Syaari’) yaitu Allah swt, jika dia melanggar semua aturanNya.
Dalam Islam ada dua sumber undang-undang yang harus dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yang pertama yaitu Al Quran dan Al Hadits. Al Quran adalah sebuah kitab yang menjelaskan semua hal sistem kehidupan yang ada di dunia ini. Didalamnya tertulis dengan jelas semua sektor dalam kehidupan ini, karena Islam adalah sebuah sistem kehidupan (Ad Dien) yang mengatur semua hal yang ada di dunia ini. Maka secara otomatis kitab yang menjelaskan tentang Islam itu sendiri tertulis banyak undang-undang yang mengatur tentang kehidupan dan mahluk hidup yang ada di dunia. Dalam Al Quran banyak sekali sektor kehidupan yang diatur. Diantaranya, diantarnya sektor Aqidah (Keyakinan), Ibadah, Mu’amalah (Sosial), Siyasah (Politik), Tarbiyah (Pendidikan), Imaroh (Pemerintahan), Tugas manusia, Akhlaq (Moral), Adab (Etika), termasuk dalam masalah berpkaian (Al Libas) dan masih banyak lagi jika kita ingin mengetahui kitab perundang-undangan muslim tersebut.
Dalam Al Quran dan Al Hadits ada dalil yang menyatakan wajibnya jilbab bagi seorang wanita muslimah. Karena dalam kitab Al Quran disana juga mengatur hukum atau etika (adab) dalam berpakaian.
Firman Allah swt:
Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[2] ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al Ahzab[33]: 59)
Dalil diatas merupakan undang-undang Allah swt yang mewajibkan kepada wanita muslimah untuk menutup semua auratnya (kecuali muka dan telapak tangan). Sudah jelaslah bahwa Islam mempunyai hukum berpakaian bagi setiap muslim maupun muslimah. Tetapi pada realitanya ternyata masih banyak kaum hawa yang belum menjadi pelaksana atau melaksanakan aturan Allah swt tersebut. Banyak sekali argumen yang ada, dan menjadi sebuah banding bagi wanita muslimah dalam menunda-nunda (belum siap) atau bahkan ada yang mengingkari hukum Allah swt tersebut.
ALASAN MENOLAK/MENUNDA DAN JAWABAN
1. AKU BELUM SIAP BERJILBAB...!!!
Apakah ada aturan yang dapat mematahkan alasan-alasan wajibnya berjilbab dengan mengatas namakan ketidak siapan untuk melaksanakan ketetapanNya?
Firman Allah swt:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. Al Ahzab[33]: 36)
Jadi menunda-nunda dalam kebaikan itu akan menimbulkan kesesatan dalam pemikiran dan hati kita. Syetan pun akan berperan dalam proses kita menunggu mendapatkan kebaikan dan melaksanakan perintah Tuhan. Lantas kapan kita berubah?
2. KEIMANAN TIDAK TERCERMIN DALAM BERPAKAIAN...!!!
Banyak sekali syubhat-syubhat yang ada di era globalisasi ini. Itu tercermin dalam pemikiran, sikap, tingkah laku, yang semakin jauh dari aturan Islam. Bahkan dalam pergaulan metropolis dan di dunia yang tengah mengalami proses globalisasi ini simbol-simbol keagamaan yang sejatinya merupakan bukti dari ketaatan kepada Tuhan, sekarang bermetamorfosis menjadi sebuah tuduhan dari sikap ketinggalan jaman, radikalisme atau fundamentalisme dan lain sebagainya. Padahal telah jelas dalam undang-undang negri indonesia saja setiap manusia diberikan kebebasan dalam melaksanakan keyakinannya.
Dalam pergaulan, terutama para wanita di kehidupan kota-kota besar penuh dengan hedonisme, keterbukaan dalam berpakaian (bagi wanita) seakan-akan itu menjadi gaya hidup (life style) yang telah membudi daya. Simbol-simbol keagamaan seperti dalam berjilbab bagi wanita sering kali mendapat kritikan atau suatu yang memojokan dengan mengatakan bahwa moral itu tidak bergantung kepada seorang manusia itu berjilbab atau tidak. Banyak fakta yang diputar balikan, dan alasan yang dikemukakan. Jika difikir secara mendalam (ittibaar) ini sangat berbahaya dan dapat mematahkan semangat seorang muslimah yang ingin melaksanakan aturan hukum Tuhan dalam aspek berpakaian bagi setiap muslimah. Lantas adakah dalil yang dapat mematahkan semua syubhat ini?
Memang iman itu terletaknya ada dalam hati:
“Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat pada bentuk-bentuk (lahiriah) dan harta kekayaanmu tapi Dia melihat pada hati dan amalmu sekalian.”(HR. Muslim)[3]
Tetapi, tampaknya mereka menggugurkan makna sebenarnya yang dibelokkan pada kebathilan. Memang benar iman itu letaknya dihati tapi iman itu tidak sempurna bila dalam hati saja. iman dalam hati semata tidak cukup menyelamatkan diri dari sangsi Tuhan (neraka). Karena definisi Iman Menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah:
“Iman itu diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan dilaksanakan dengan anggota badan”. (Al Hadits)
Dan juga tercantum dalam Al-Quran setiap kali disebut kata Iman, selalu disertai dengan amal, seperti: “Orang yg beriman dan beramal shalih....”. Karena amal selalu beriringan dengan iman, keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan. Dan jilbab merupakan suatu tindakan (amal) yang merupakan implikasi dari keimanan seorang muslimah dalam berpakaian.
3. AKU BELUM MENDAPAT HIDAYAH...!!!
Alasan lain yang dapat seorang muslimah temukan dari orang-orang yang menunda-nunda atau mengingkari kewajiban etika bagi muslimah dalam berpakaian (memakai jilbab) adalah mereka belum mendapat hidayah (kesadaran) dari Allah swt.
Lantas benarkah ungkapan tersebut?
Firman Allah swt:

Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[4]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[5] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (Q.S. Ar Raad[13]: 11)
Jadi tidak semua perubahan datang secara otomatis, tetapi itu semua perlu dicari (ikhtiar). Selama tekadnya (azzam) masih lemah maka kemungkinan wanita muslimah tersebut selamanya tidak akan berjilbab, lalu perubahan yang diinginkannya tidak terlaksana karena waktu hidup yang disediakan hanya dihabiskan untuk menimbang-nimbang (walaupun itu untuk kebaikan???). Tetapi berlainan ketika tekadnya (azzam) kuat maka sesulit apapun halangan yang ada didepan dia akan dapat mengatasinya.
4. AKU TAKUT TIDAK MENDAPAT JODOH JIKA BERJILBAB...!!!
Sudah menjadi wajar ketika suatu saat seorang muslimah menginginkan untuk menikah. Karena dalam kehidupan ini Islam tidak menganjurkan kita untuk hidup sebagai biarawati yang terkungkung dalam penjara fikiran yang mengharuskan tidak menikah agar ibadah kepada Tuhan-nya tidak terganggu. Sekali-kali itu adalah tindakan yang salah dan keluar dari sifat kemanusiaan. Ingat bahwa dalam kehidupan itu semuanya harus seimbang. Manusia memiliki kebutuhan biologis serta meneruskan eksistensi keturunannya di muka bumi ini. Adakah alasan yang dapat mematahkan pernyataan ini?
Syubhat ini dibisikkan oleh setan dalam jiwa karena perasaan bahwa para pemuda tidak akan mau memutuskan untuk menikah kecuali jika dia telah melihat badan, rambut, kulit, kecantikan dan perhiasan sang gadis. Meskipun kecantikan merupakan salah satu sebab paling pokok dalam pernikahan, tetapi ia bukan satu-satunya sebab dinikahinya wanita.
Rasulullah saw bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat hal; yaitu karena harta, keturunan, kecantikan dan agamanya. Dapatkanlah wanita yg berpegang teguh dengan agama,(jika tidak) niscaya kedua tanganmu berlumur debu”. (HR. Al Bukhari, kitaabun nikah,9/115).
Jadi ketakutan tersebut tidak beralasan kuat, karena pada hakikatnya manusia itu memiliki jodohnya masing-masing. Dan kesetimpalan atas suatu akhlaq atau moral manusia akan mendapatkan yang sebanding. Wanita yang sholehah akan mendapat laki-laki yang sholeh, begitu pula sebaliknya.
Firman Allah swt:
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)[6]. (Q.S. An Nuur[24]: 26 )
Jadi semoga itu dapat menjadi sebuah motivasi dalam berjilbab. Karena kitapun akan merasakan sesuatu hal yang menjadi setiap tindakan yang diperbuat.
Disini akan dipaparkan juga mengenai bukti ilmiah kontemporer tentang konsekwensi wanita yang tidak berjilbab:
Penyakit yang Menimpa Perempuan Tidak Berjilbab
Rasulullah bersabda, "Para wanita yang berpakaian tetapi (pada hakikatnya) telanjang, lenggak-lengkok, kepala mereka seperti punuk unta, mereka tidak akan masuk surga dan tiada mencium semerbak harumnya (HR. Abu Daud)
Rasulullah bersabda, "Tidak diterima sholat wanita dewasa kecuali yang memakai khimar (jilbab) (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, bn Majah)

Penelitian ilmiah kontemporer telah menemukan bahwasannya perempuan yang tidak berjilbab atau berpakaian tetapi ketat, atau transparan maka ia akan mengalami berbagai penyakit kanker ganas di sekujur anggota tubuhnya yang terbuka, apa lagi gadis ataupun putri-putri yang mengenakan pakaian ketat-ketat. Majalah kedokteran Inggris melansir hasil penelitian ilmiah ini dengan mengutip beberapa fakta, diantaranya bahwasanya kanker ganas milanoma pada usia dini, dan semakin bertambah dan menyebar sampai di kaki. Dan sebab utama penyakit kanker ganas ini adalah pakaian ketat yang dikenakan oleh putri-putri di terik matahari, dalam waktu yang panjang setelah bertahun-tahun. dan kaos kaki nilon yang mereka kenakan tidak sedikitpun bermanfaat didalam menjaga kaki mereka dari kanker ganas. Dan sungguh Majalah kedokteran Inggris tersebut telah pun telah melakukan polling tentang penyakit milanoma ini, dan seolah keadaan mereka mirip dengan keadaan orang-orang pendurhaka (orang-orang kafir Arab) yang di da'wahi oleh Rasulullah. Tentang hal ini Allah berfirman:

وإذ قالوا اللهم إن كان هذا هو الحق من عندك فأمطر علينا حجارة من السماء أو ائتنا بعذاب أليم
(الأنفال: RQ)

Dan ingatlah ketika mereka katakan: Ya Allah andai hal ini (Al-Qur'an) adalah benar dari sisimu maka hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih ( Q.S. Al-Anfaal: 32)
Dan sungguh telah datang azab yang pedih ataupun yang lebih ringan dari hal itu, yaitu kanker ganas, dimana kanker itu adalah seganas-ganasnya kanker dari berbagai kanker. Dan penyakit ini merupakan akibat dari sengatan matahari yang mengandung ultraviolet dalam waktu yang panjang disekujur pakaian yang ketat, pakaian pantai (yang biasa dipakai orang-orang kafir ketika di pantai dan berjemur di sana) yang mereka kenakan. Dan penyakit ini terkadang mengenai seluruh tubuh dan dengan kadar yang berbeda-beda. Yang muncul pertama kali adalah seperti bulatan berwarna hitam agak lebar. Dan terkadang berupa bulatan kecil saja, kebanyakan di daerah kaki atau betis, dan terkadang di daerah sekitar mata; kemudian menyebar ke seluruh bagian tubuh disertai pertumbuhan di daerah-daerah yang biasa terlihat, pertautan limpa (daerah di atas paha), dan menyerang darah, dan menetap di hati serta merusaknya.
Terkadang juga menetap di sekujur tubuh, diantaranya: tulang, dan bagian dalam dada dan perut karena adanya dua ginjal, sampai menyebabkan air kencing berwarna hitam karena rusaknya ginjal akibat serangan penyakit kanker ganas ini. Dan terkadang juga menyerang janin di dalam rahim ibu yang sedang mengandung. Orang yang menderita kanker ganas ini tidak akan hidup lama, sebagaimana obat luka sebagai kesempatan untuk sembuh untuk semua jenis kanker (selain kanker ganas ini), dimana obat-obatan ini belum bisa mengobati kanker ganas ini.
Dari sini, kita mengetahui hikmah yang agung anatomi tubuh manusia di dalam perspektif Islam tentang perempuan-perempuan yang melanggar batas-batas syari'at. yaitu bahwa model pakaian perempuan yang benar adalah yang menutupi seluruh tubuhnya, tidak ketat, tidak transparan, kecuali wajah dan telapak tangan. Dan sungguh semakin jelaslah bahwa pakaian yang sederhana dan sopan adalah upaya preventif yang paling bagus agar tidak terkena "adzab dunia" seperti penyakit tersebut di atas, apalagi adzab akhirat yang jauh lebih dahsyat dan pedih. Kemudian, apakah setelah adanya kesaksian dari ilmu pengetahuan kontemporer ini -padahal sudah ada penegasan hukum syari'at yang bijak sejak 14 abad silam- kita akan tetap tidak berpakaian yang baik (jilbab), bahkan malah tetap bertabarruj???[7]
Pendukung motivasi untuk berjilbab.
Mengapa Wanita Harus Berjilbab/berjilbab?
Pertama; Sebagai Realisasi Ketaatan Kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena ketaatan tersebut akan menjadi sumber kebahagiaan dan kesuksesan besar di dunia dan akhirat. Maka seseorang tidak akan merasakan manisnya iman sebelum mampu melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya serta berusaha merealisasikan semua perintah-perintah tersebut. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, “Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al- Ahzab :71) Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,“Sungguh akan merasakan manisnya iman seseorang yang telah rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai nabi (yang diutus Allah).” (H.R. Muslim) Di samping itu, bahwa tujuan utama Allah menciptakan jin dan manusia tidak lain adalah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana yang telah difirmankan di dalam surat adz-Dzariyat ayat 56. Maka segala aktivitas dan kegiatan manusia hendaklah mencerminkan nilai ibadah kepada Allah termasuk dalam berbusana dan berpakaian.Caranya adalah dengan meyesuaikan diri dengan aturan dan ketentuan berpakaian yang telah digariskan dalam syari’at Islam. Ke dua; Menampakkan Aurat dan Keindahan Tubuh Merupakan Bentuk Maksiat yang Mendatangkan Murka Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhannahu wa Ta'ala Berfirman,“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata. (Al-Ahzab :36). Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,“Setiap umatku (yang bersalah) akan dimaafkan, kecuali orang yang secara terang-terangan (berbuat maksiat).”(Muttafaqun ‘alaih). Sementara wanita yang menampakkan aurat dan keindahan tubuh, telah nyata-nyata menampakkan kemaksiatan secara terang-terangan. Hal ini dikarenakan Allah telah menjelaskan batasan aurat seorang wanita, perintah untuk menutupinya ketika di hadapan orang asing (bukan mahram) serta mencela dan melaknat wanita yang memamerkan auratnya di depan umum. Jika seorang wanita hanya sekedar lewat dengan memakai parfum di hadapan kaum lelaki saja dapat dikategorikan zina, sebagaimana disabdakan Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam di dalam makna memancing dan mengundang perbuatan tersebut, maka bagaimana lagi dengan mempertontonkan sesuatu yang tak selayaknya diperlihatkan? Bau wangi yang bersumber dari seorang wanita dapat membangkitkan imajinasi kaum lelaki yang mencium aroma tersebut.Maka membuka aurat jelas lebih dilarang dalam Islam karena bukan sekedar memberikan gambaran, namun benar-benar menampakkan bentuk riilnya. Ke tiga; Jilbab Dapat Meredam Berbagai Macam Fitnah. Jika berbagai macam fitnah lenyap, maka masyarakat yang dihuni oleh kaum wanita berjilbab akan lebih aman dan selamat dari fitnah. Sebaliknya apabila suatu masyarakat dihuni oleh wanita yang tabarruj atau pamer aurat dan keindahan tubuh, sangat rentan terhadap ancaman berbagai fitnah dan pelecehan seksual serta gejolak syahwat yang membawa malapetaka dan kehancuran. Bagian tubuh yang terbuka, jelas akan memancing perhatian dan pandangan berbisa. Itulah tahapan pertama bagi penghancuran serta perusakan moral dan peradaban sebuah masyarakat. Ke empat; Tidak Berjilbab dan Pamer Perhiasan Akan Mengundang Fitnah bagi Laki-Laki. Seorang wanita apabila menampakkan bentuk tubuh dan perhiasannya di hadapan kaum laki-laki bukan mahram, hanya akan mengundang perhatian kaum laki-laki hidung belang dan serigala berbulu domba. Jika ada kesempatan, maka mereka akan dengan ganas dan beringas memangsa, laksana singa sedang kelaparan. Penyair berkata, Berawal dari pandangan lalu senyuman kemudian salam, Disusul pembicaraan lalu berakhir dengan janji dan pertemuan. Ke lima; Menunjukkan Kepribadian dan Identitas serta Mencegah dari Gangguan. Jika seorang wanita muslimah berjilbab, secara tidak langsung ia berkata kepada semua kaum laki-laki “Tundukkanlah pandanganmu, aku bukan milikmu serta kamu juga bukan milikku, tetapi saya hanya milik orang yang dihalalkan Allah bagiku. Aku orang yang merdeka dan tidak terikat dengan siapa pun dan aku tidak tertarik kepada siapa pun, karena saya jauh lebih tinggi dan terhormat dibanding mereka yang sengaja mengumbar auratnya supaya dinikmati oleh banyak orang.” Wanita yang bertabarruj atau pamer aurat dan menampakkan keindahan tubuh di depan kaum laki-laki lain, akan mengundang perhatian laki-laki hidung belang dan serigala berbulu domba. Secara tidak langsung ia berkata, “Silahkan anda menikmati keindahan tubuhku dan kecantikan wajahku. Adakah orang yang mau mendekatiku? Adakah orang yang mau memandangiku? Adakah orang yang mau memberi senyuman kepadaku? Atau manakah orang yang berseloroh “Aduhai betapa cantiknya?” Mereka berebut menikmati keindahan tubuhnya dan kecantikan wajahnya, sehingga membuat laki-laki terfitnah, maka jadilah ia sasaran empuk laki-laki penggoda dan suka mempermainkan wanita. Manakah di antara dua wanita di atas yang lebih merdeka? Jelas, wanita yang berjilbab secara sempurna akan memaksa setiap laki-laki yang melihat menundukkan pandangan dan bersikap hormat. Mereka juga menyimpulkan, bahwa dia adalah wanita merdeka, bebas dan sejati, sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala , “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Al-Ahzab :59). Wanita yang menampakkan aurat dan keindahan tubuh serta paras kecantikannya, laksana pengemis yang merengek-rengek untuk dikasihani. Hal itu jelas mengundang perhatian laki-laki yang hobi menggoda dan mempermainkan kaum wanita, sehing-ga mereka menjadi mangsa laki-laki bejat dan rusak tersebut.Dia ibarat binatang buruan yang datang sendiri ke perangkap sang pemburu. Akhirnya, ia menjadi wanita yang terhina, terbuang, tersisih dan kehilangan harga diri serta kesucian. Dan dia telah menjerumuskan dirinya dalam kehancuran dan malapetaka hidup. Syarat-Syarat dalam Berjilbab
· Pertama; Hendaknya menutup seluruh tubuh dan tidak menampakkan anggota tubuh sedikit pun, selain yang dikecualikan karena Allah berfirman, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak.” (An-Nuur: 31) Dan juga firman Allah Subhannahu wa Ta'ala,“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (Al Ahzab :59).
· Ke dua; Hendaknya jilbab tidak menarik perhatian pandangan laki-laki bukan mahram. Agar jilbab tidak memancing pandangan kaum laki-laki, maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
o Hendaknya jilbab terbuat dari kain yang tebal, tidak menampakkan warna kulit tubuh (transfaran).
o Hendaknya jilbab tersebut longgar dan tidak menampakkan bentuk anggota tubuh.
o Hendaknya jilbab tersebut tidak berwarna-warni dan bermotif.
o Jilbab bukan merupakan pakaian kebanggaan dan kesombongan karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,“Barangsiapa yang mengenakan pakaian kesombongan (kebanggaan) di dunia maka Allah akan mengenakan pakaian kehinaan nanti pada hari kiamat kemudian dibakar dengan Neraka.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, dan hadits ini hasan).
o Hendaknya jilbab tersebut tidak diberi parfum atau wewangian berdasar-kan hadits dari Abu Musa Al-Asy’ary, dia berkata, Bahwa Rasulullah bersabda,“Siapa pun wanita yang mengenakan wewangian, lalu melewati segolongan orang agar mereka mencium baunya, maka ia adalah wanita pezina” (H.R Abu Daud, Nasa’i dan Tirmidzi, dan hadits ini Hasan)
· Ke tiga; Hendaknya pakaian atau jilbab yang dikenakan tidak menyerupai pakaian laki-laki atau pakaian kaum wanita kafir, karena Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda,“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud) Dan Rasulullah mengutuk seorang laki-laki yang mengenakan pakaian wanita dan mengutuk seorang wanita yang mengenakan pakaian laki-laki. (H.R. Abu Dawud an-Nasa’i dan Ibnu Majah, dan hadits ini sahih). Catatan : Menutup wajah menurut syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam kitabnya Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah Fil Kitab Was Sunnah, adalah sunnah, akan tetapi yang memakainya mendapat keutamaan/tidak wajib.

Wallahu ‘Alam
-- (Dan Allah yang lebih mengetahui) --

Semoga Allah swt memberikan keistimewaan hidayah dan cintaNya bagi siapapun yang Dia kehendaki. Juga siapapun muslimah yang berusaha menjadi lebih baik lagi.
Amien Yaa Rabbal ‘Aalamien

Kebenaran datangnya dari Allah swt, kesalahan tiada lain dan tiada bukan adalah bersumber dari diri saya sendiri.

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Perseturuan antara partai politik Islam dengan organisasi masyarakat Islam, telah lama menjadi sebuah fenomena penuh kontroversi di dalam masyarakat Indonesia. Namun hingga saat ini, kedua kubu ini belum juga menemukan titik temu. Setiap pihak merasa dirinyalah yang paling benar, sehingga timbulah tindakan saling menyalahkan. Bahkan seiring dengan berjalannya waktu, keadaan ini justru semakin parah, meskipun dari luar tampak tenang. Memang perseteruan ini merupakan persetteruan intern, sehingga tidak setiap orang mengetahui dan mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Oleh karena itu terkadang bagi mereka yang kurang mengerti apa yang sesungguhnya tengah terjadi, hanya memandang sebelah mata dari apa yang tampak. Maka tidaklah mengherankan jika masyarakat awam hanya terseret ke sana ke mari tanpa tahu arah dan tanpa landasan yang kuat.
Islam saja mengajarkan bahwa sesama muslim adalah saudara. Akankah perseturuan ini akan terus berlanjut hingga semakin terpecah belah ukhuwah Islamiyah di antara umat muslim ?! Sudah begitu rindukah kita pada datangnya hari kiamat ?! Hal ini penting untuk kita telaah dan luruskan.
Tidak sepantasnya kita sebagai warga Indonesia terutama bagi umat Islam berpangku tangan melihat semua ini. Setidaknya kita memberikan perhatian untuk meleraikan masalah ini. Bagi umat Islam, ingatlah bahwa tatkala kita melihat kemungkaran, maka hentikanlah dengan tindakan. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya dan jika masih tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.

Permasalahan

Kontroversi yang masih hangat ini, terutama dikalangan tokoh partai politik Islam maupun organisasi masyarakat Islam serta para aktivis kedua kubu ini ditengarai oleh :
1. Adanya pelencengan etika dalam berpolitik dari partai politik Islam.
2. Ambisi partai politik Islam untuk mendirikan Negara Syari’ah, baik secara terang-terangan maupun tersamar.
3. Partai politik Islam menggerogoti organisasi masyarakat Islam
4. Kurang kuatnya pemahaman dan loyalitas dari beberapa anggota organisasi masyarakat Islam


BAB II
PEMBAHASAN

1. Etika berpolitik sehubungan dengan agama
Dalam etika dunia politik, selayaknya partai-partai politik tidak mencampur adukkan antara urusan agama dengan politik karena pada hakekatnya politik itu secara langsung maupun tidak langsung akan mengotori agama sebab dunia politik merupakan permainan merebutkan kekuasaan dan wewenang. Memang dalam agama terdapat ajaran mengenai politik atau pemerintahan karena agama memang untuk mengatur semua kehidupan manusia. Namun bukan berarti dapat dicampur aduk begitu saja, sehingga dapat menimbulkan peselisihan dan perpecahan dalam satu agama. Misalnya tarbiyah secara normatif memiliki visi misi yang berorientasi dakwah sebagaimana menjadi kebijakan partai politik Islam dalam sayap dakwahnya, selain sayap politik (Partai Politik Islam, 2004:4). Semestinya dakwah Islam sudah ada wadahnya sendiri, bukan dalam koridor partai politik.
Jika terus seperti ini, maka akan dapat menganggu stabilitas politik yang demokratis. Hal ini ditegaskan dalam pernyataan Lijphard (1977:4) sebagai berikut.

Sebenarnya suatu stabilitas politik haruslah dengan sendirinya bersifat demokratis, sebab stabilitas yang tidak demokratis adalah semu, yang di dalamnya terkandung bibit kekacauan yang destruktif bagaikan sebuah bom waktu.

Memang mungkin telah demokratis, tapi adanya konflik destruktif dalam kancah perpolitikan akan menghancurkan salah satu atau kedua belah pihak.
2. Negara Syari’ah dan Negara Nasionalis
Negara Syari’ah memang bagus karena semua hukumnya berdasarkan pada Al Qur’an dan Al Hadist, sehingga hukum-hukum buatan manusia harus merujuk pada Al Qur’an dan Al Hadist. Namun jika kita berada dalam Negara Nasionalis berusaha mengubahnya menjadi Negara Syari’ah, maka akan timbul sebuah permasalahan karena kita berada dalam lingkungan yang pluralisme. Apalagi jika merubahnya dengan cara memberontak pada pemerintah. Jika semua lapisan masyarakat bisa menerima perubahan, mungkin tidak masalah. Namun realitas menyatakan sebaliknya.
3. Hubungan Partai Politik Islam dengan Organisasi Masyarakat Islam
Hubungan partai politik Islam dengan organisasi masyarakat Islam semestinya dapat harmoni. Apalagi sesama muslim pada hakekatnya bersaudara. Namun sering kali terjadi pencampur adukan antara urusan politik dengan agama inilah yang menodai keharmonisan. Seperti yang disampaikan oleh Nashir (2006:33) sebagai berikut.

Pada awalnya dan pada dasarnya tidak ada masalah antara organisasi masyarakat Islam dengan partai politiik Islam maupun partai politikmanapun. Dalam konteks gerakan Islam, baik manakala kesamaan maupun perbedaan orientasi paham dan gerakannya, justru dapat saling bekerjasama atau berukhuwah atau setidak-tidaknya saling menghormati sesama gerakan Islam untuk kepentingan izzul Islam wa al-muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin) di Indonesia maupun di dunia Islam.

4. Selayaknya pribadi anggota suatu organisasi baik politik maupun
masyarakat.
Tiada suatupun yang sempurna, begitu pula dalam organisasi. Setiap organisasi tentulah memiliki kekurangan dan kelebihan, baik organisasi politik, masyarakat, maupun organisasi-organisasi lainya. Beranjak dari hal tersebut, sebagai anggota dari suatu organisasi, jika mengetahui kekurangan dari organisasinya, semestinya bukan pergi meninggalkannya. Namun kekurangan tersebut hendaklah diperbaiki bersama-sama karena baik buruknya atau kualitas suatu organisasi kembali pada orang-orang di dalamya yang mewarnai organisasi tersebut.
Lantas jika ada anggota yang meninggalkan organisasinya hanya karena kekurangan yang ada pada organisasinya, maka akan timbullah pertanyaan di manakah letak loyalitas anggotanya ? Apalagi jika melepaskan suatu organisasi masyarakat hanya demi mobilitas dirinya, maka akan timbul pula pertanyaan di manakah letak keikhlasan dalam berjuang ? Sedangkan di dalam organisasi masyarakat keikhlasan dalam berjuang merupakan landasan vital dalam gerak langkahnya.
Setiap organisasi pastilah membutuhkan kaderisasi sebagai penerusnya. Namun dalam mengkaderpun selayaknya tidak melukai organisasi lain. Saya umpamakan sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Tatkala salah satu anggota keluarga tersebut diambil baik secara paksa maupun halus, tentulah akan menyakiti anggota keluarga yang lain karena merasa kehilangan. Apalagi jika yang diambil adalah ayah atau ibu. Begitu pula dalam suatu organisasi, jika salah satu anggotanya diambil oleh organisasi lain untuk dijadikan kadernya hingga meninggalkan organisasi sebelumnya, tentulah merasa kehilangan pula. Apalagi bila justru tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat yang menjadi incaran kaderisasi.
Mungkin ada pula yang tidak sampai meninggalkan organisasi sebelumnya, tapi menduakannya. Namun siapa sih yang rela untuk dimadu? Bahkan dengan menggunakan fasilitas organisasi sebelumnya digunakan untuk menghidupi organisasi lain, sedangkan fasilitas itu dibutuhkan organisasi sebelumnya untuk hidup. Seperti halnya ladang milik seorang petani X yang dibutuhkan untuk bertani sebagai penyambunng hidup keluarga petani X, namun justru digarap oleh petani Y atau salah satu anggota keluarga petani X untuk mnghidupi keluarga petani Y.

Pemecahan Masalah

Mengamati kontroversi fenomena–fenomena perseturuan yang belum bertemu ujungnya, tidaklah pantas bila kita tinggal diam sebagai penonton yang pasif. Oleh karena itu butuh tindak lanjut untuk menyelesaikannya dengan cara yang bijaksana. Disinilah beberapa gagasan saya paparkan :
Aturan politik baik yang berupa norma maupun nilai harus benar-benar ditegakkan, tidak sebatas formalitas hitam di atas putih.
Perlu adanya Undang-Undang Kaderisasi Politik yang mengatur gerak langkah kaderisasi partai politik secara tegas yang berasaskan saling menghormati, menghargai, dan toleransi.
Syari’at Islam dapat berdiri tegak itu kembali pada pribadi setiap individu. Maka untuk menegakkan syari’at Islam tidaklah harus membentuk Negara Syari’ah. Meskipun Negara Nasionalis, tapi jika masyarakat di dalamnya teguh pada syari’at Islam, maka pada hakekatnya negara itupun bernafaskan syar’i. Apalah artinya jika secara pemerintahan berupa Negara Syari’ah, namun masyarakatnya tidak syar’i. Jadi yang paling utama bukan mengotak-atik pemerintahan terlebih dahulu, tapi masyarakatlah yang perlu diwarnai. Jika masyarakat telah terwarnai, maka pemerintahanpun akan terbawa juga karena kita hidup dalam negara yang demokratis, yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Perlu adanya Undang-Undang yang mengatur hubungan partai politik dengan organisasi masyarakat agar tetap berjalan secara harmonis.
Perlunya pengkajian yang lebih sistematis akan sumber-sumber ajaran agama, penghargaan yang lebih baik, tapi tetap kritis kepada warisan cultural umat, dan pemahaman yang lebih tepat akan tuntutan zaman yang semakin berkembang secara cepat ini. Sehingga tidak menimbulkan percobaan untuk mengajukan Islam dan memandangnya secara langsung sebagai sebuah ideologi politik seperti ideologi-ideologi politik yang ada di dunia ini. Seperti yang diutarakan oleh Madjid (1999:47) yang berpendapat sebagai berikut.

Islam bukanlah sebuah ideologi, meskipun ia bisa, malah seharusnya berfungsi sebagai sumber ideologi para pemeluknya.Namun Islam sendiri terbebas dari keterbatasan-keterbatasan sebuah ideologi yang sangat memperhatikan konteks ruang dan waktu itu.Sebenarnya pandangan langsung kepada Islam sebagai ideologi bisa berakibat merendahkan agama itu menjadi setaraf dengan berbagai ideologi yang ada.

Meningkatkan pemahaman anggota terhadap organisasinya karena sedikit tahu maka akan banyak prasangka, sedangkan banyak tahu maka akan sedikit prasangka. Oleh karena itu setiap anggota hendaklah benar-benar memahami organisasinya agar tidak terjadi banyak prasangka yang menimbulkan perselisihan.
Menurut Nashir (2006:59) sebagai berikut.

Setiap organisasi sebaiknya mengerahkan komitmen, kemampuan, pemikiran, dan segala ikhtiar untuk membesarkan organisasinya secara optimal dan penuh tanggung jawab. Jika terdapat kelemahan hendaklah memperbaiki dan menyempurnakan gerakan dan system dalam organisasinya, bukan malah berpaling ke tempat lain atau menyuburkan milik orang lain dalam organisasinya. Ini bukan masalah sikap kaku atau lentur, tetapi menyangkut komitmen dan pertanggungjawaban pengkhidmatan bagi setiap anggota terhadap organisasinya.

Melihat fenomena itu, maka sangat perlunya intropeksi ke dalam pengkaderan secara sistemik, disiplin, dan istiqomah (Anonim, 2007).
Memang sebaiknya organisasi masyarakat Islam mengembangkan kekuatan kulturalnya untuk mempersiapkan diri di masa mendatang sebagai gerakan Islam yang benar-benar mampu memberikan alternatif pemikiran keislaman (Qodir, 2007:209).
Semestiwa jiwa organisasi masyarakat Islam menurut Nashir (2007:16) sebagai berikut.

Dalam melaksanakan dakwah dan tajdid melalui usaha-usahanya secara ikhlas, sungguh-sungguh, gigih, dan berkelanjutan, sehingga secara istiqamah dan militan menjadi kekuatan umat yang berjuang menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Organisasi masyarakat Islam semestinya menguatkan diri dalam menjaga agar potensi besar organisasinya tidak dimanfaatkan untuk tujuan politik sesaat atau terjebak dalam arus politik praktis (Organisasi Masyarakat Islam, 2007:24)


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Demi kepentingan ukhuwah dan izzul Islam wa al muslimin, maka selayaknya setiap organisasi dan gerakan di tubuh umat Islam saling menghormati dan tidak mencampuri dan berekspansi satu sama lain, yang pada akhirnya merusak dan mencederai ukhuwah dan kekuatan Islam serta umat Islam sendiri.
Sepaham maupun beda tidak harus berarti menghimpit diri atau mengembangkan konflik dan ekspansi, justru sebaliknya harus saling memposisikan dan memerankan diri dengan sebaik-baiknya berdasarkan asas penghormatan dan ukhuwah. Jika ingin ingin berekspansi secara politik dan ideologis, carilah lahan lain yang kosong. Kini umat Islam justru memerlukan peningkatan kualitas daripada sekadar berebut lahan di rumah umat sendiri yang pada akhirnya berbenturan dengan sesama umat Islam.

Saran

1. Marilah kita semua bermuhasabah kembali dan menumbuhkan sikap saling menghargai, menghormati, dan toleransi antar sesama. Ingatlah sesama muslim itu bersaudara.
2. Kuatkanlah loyalitas, komitmen, konsekuen, dan konsisten pada organisasi masing-masing.


DAFTAR PUSTAKA

Furkon, Aay Muhammad, 2004, Pengantar Anis Matta, Partai Keadilan Sejahtera : Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslimin Indonesia Kontemporer, Bandung : Teraju.

Lijphard, Aren, 1977, Democracy in Plural Society, New Haven : Yale University Press.

Madjid, Nurcholish, 1999, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta : Paramadina

Muhammadiyah, Ikatan Remaja, 2007, Musyawarah Wilayah XV, Yogyakarta : Ikatan Remaja Muhammadiyah DIY

Nashir, Haedar, 2006, Manifestasi Gerakan Tarbiyah, Yogyakarta : Sura Muhammadiyah

Qodir, Zuly, 2007, Islam Syari’ah VIS-À-VIS Negara, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sejahtera, Partai Keadilan, 2004, Kurikulum Tarbiyah : Panduan Liqa’ Anggota Pemula PK Sejahtera, Yogyakarta, Muliya Press

Majalah Suara Muhammadiyah, Vol. 20/ No.31/ Oktober 2007.

Majalah Tabiligh, Vol. 04/ No.04/Rajab 1427 H/ Agustus 2006 M.

www.muhammadiyah.or.id, Intensifkan Perkaderan, Konsekuensi SK PP No. 149/2006

www.irm.or.id, Buku Tamu