Bismillahirrahmaanirrahiim,
Segala puji bagi Allah, Dzat pencipta dan penguasa semua yang ada, pernah ada, dan akan ada. Dialah sang Ahad, padaNya bergantung setiap sesuatu, padaNya semua mahluk berharap, padaNya setiap yang bernyawa meminta. Tidaklah dia beranak dan tidak pula diperanakan. Sungguh Dialah Allah, Dzat yang Maha atas segalanya, tak ada yang layak di persamakan denganNya apalagi melebihinya.Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada sang teladan manusia, guru manusia, imamnya para nabi, baginda yang mulia Muhammad salallahu `alaihi wa alihi wa salam, juga kepada para shahabatnya, para tabi`in, para `ulama terdahulu dan kemudian, juga kepada siapa saja yang bersunnah dengan sunnahnya, berda`wah seperti baginda nabi berda`wah, dan berjihad dengan sebenar-benarnya jihad hingga sampai suatu hari yang tak ada lagi hari di dunia ini setelah hari itu.

Melihat sebuah judul yang bertengger diatas, hati saya tergetar kala membacanya bahkan hingga berulang-ulang, tangis inipun tak terelakan kala menyadari betapa sebuah kata yang berarti sangat dalam, tapi sungguh masih jauh panggang dari api manakala melihat keadaan diri pribadi dengan apa yang dituliskan dalam judul diatas, dia baru mulai jadi angan-angan, bahkan mungkin juga baru mulai jadi angan-angan pada setiap kita.Saudaraku, izinkan tulisan ringan ini saya buat, semata menasihati diri saya yang tengah kerontang dari kesuburan iman, yang tengah basi dari lezatnya munajat, yang tengah kering dari basahnya dzikir, dan tengah miskin dari kekayaan amal shalih yang hanya pamrih untuk Allah saja, tak ada selainNya.

Ikhlas berarti membersihkan tujuan beribadah kepada Allah SWT dari segala noda yang mengotorinya, memfokuskan ibadah hanya kepada Allah SWT, Ikhlas merupakan syarat diterimanya amal shalih yang berlandaskan sunnah Rasulullah saw. Dan Allah senantiasa memerintahkan kita untuk selalu ikhlas dalam beramal, firmanNya :

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam[menjalankan] agama yang lurus” [QS. 98:5].

Ikhlash, adalah parameter keberhasilan setiap langkah amal, adalah bukti kecintaan, adalah bukti kualitas diri seorang hamba dihadapan Khaliqnya. FirmanNya ;Katakanlah : “Dialah Allah yang ahad. Allah tempat bergantung segala seuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula di pernakan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”Sebuah tonggak Aqidah yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW kepada para shahabat beliau. Seperti halnya juga tonggak aqidah yang diajarkan oleh nabi-nabi sebelum Rasulullah SAW kepada ummat-ummat mereka, PENGESAAN ALLAH..!Demikianlah Allah mengajarkan kepada kita semua dalam penghambaan dan ketaatan kepadaNya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah, dikisahkan :Ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah dan bertanya : “apa yang akan diperoleh oleh seseorang yang berjuang karena ingin mendapatkan imbalan dan popularitas, yaa Rasulullah ?” Beliau (Rasulullah SAW) menjawab : “dia tidak akan mendapatkan apa pun”, lalu orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali dan Rasulullah tetap menjawab dengan jawaban yang sama, kemudian bersabda : “Allah hanya menerima amal yang disertai dengan keikhlasan dan karena ingin mencari ridhaNya”. [Hr. Abu Daud dan Nasa’i dengan sanad hasan]Ramadhan, sang tamu agung yang sekarang sedang bersama kita. Sangatlah layak kalau kita berguru padanya tentang sebuah makna ikhlash. Bagaimana tidak, ramadhan yang didalamnya ada shaum, ada qiyamurramadhan, ada laitaul Qadr dan ada amal-amal shalih lain yang dilakukan semata karena Allah tanpa peduli dengan pujian atau sanjungan orang lain.

Ikhlash tidak berarti melaksanakan sesuatu tanpa pamrih, tetapi ikhlash adalah melandaskan setiap amal kita dengan pamrih hanya kepada Allah, dengan mengharap ridha Allah (mengalihkan pamrih kita dari selain Allah kepada pamrih untuk mengharapkan ridha Allah). Seperti tercermin dalam hadits yang masyhur tentang niat.

Telah berkata Ummar Ibn al Khattab Abu Hafs al Amiirul mu`miniin R.A. bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya setiap amal itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap urusan didasarkan pada niatnya. Barang siapa yang berniat hijrah karena Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah berhijrah karena Allah dan RasulNya. Akan tetapi, barang siapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau perempuan yang hendak ia nikahi, maka sesungguhnya hijrahnya itu untuk apa yang ia niatkan" atau seperti apa yang disampaikan Rasulullah SAW. Hadits ahad dari Ummar Ibnul Khattab R.A, dengan derajat shahih melalui riwayat Bukhari dan Muslim.

Saudaraku, demikian indahnya Rasulullah SAW. menggambarkan sebuah keikhlashan dihadapan para shahabat yang dalam keadaan penekanan oleh kafir Quraish dan hijrahnya mereka dari makkah dengan tidak membawa barang-barang dunia yang layak untuk hidup mereka di tempat baru, kecuali hanya iman mereka kepada Allah, rasulNya, dan hari akhir.Saudaraku, mu’min yang ikhlash bukan saja akan disenangi saudaranya yang mu’min, tetapi juga disegani oleh iblish sekalipun. Ikhlash-lah yang menyelamatkan setiap mu’min dari tipudaya iblish laknatullah, seperti firman Allah :

Iblis menjawab : "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya. Kecuali hamba-hambaMu yang mukhlish diantara mereka.“ (QS. Shaad, 38 : 82-83)

Sungguh hanya dengan amal yang ikhlash-lah yang mampu membentuk pribadi muslim yang mutakamil, yang shalih dan men-sholihkan, seperti mutiara yang mengatakan :"Setiap manusia itu binasa, kecuali orang-orang yang berilmu. Dan setiap mereka yang berilmupun binasa, kecuali orang-orang yang ber`amal. Dan setiap mereka yang ber`amalpun binasa, kecuali mereka yang ikhlash dalam amalnya"Namun saudaraku, ternyata jalan menuju ikhlash tidaklah mulus, tetapi justru sangat banyak onak dan duri yang bertebaran dijalannya. Sungguh amat banyak tipu muslihat yang siap menggelincirkan setiap kita dari ber’amal ikhlash, dari mulai ta’ajub pada kelebihan diri sendiri, riya dan sum’ah, hingga menyombongkan diri dihadapan Allah azza wajalla.Seorang sholih Muhammad bin Sirrin mengatakan :"Sungguh telah riya orang yang ber’amal hanya karena ingin dilihat orang, dan orang yang tidak jadi beramal karena takut dilihat orang pun telah dijangkiti penyakit riya“Jika demikian, bagaimana kita harus ber’amal ?

Dan Katakanlah : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.“ (QS. At Taubah, 9 : 105)

Seseorang yang ber’amal dikatakan ikhlash, manakala ia ber’amal sama banyak dan kualitasnya baik ketika dikeramaian orang maupun disaat sendirian, bahkan ia meningkatkan kualitas amalnya disaat-saat sendirian karena kecintaanya kepada Allah.

Saudaraku, membangun pribadi menjadi ikhlash seperti berjalan diatas jalanan yang dipenuhi duri, sedikit saja kita salah melangkah, maka kaki akan tergores dan sakit. Semakin sering kita salah melangkah, bukan tidak mungkin kalau akhirnya kita harus terkapar ditengah jalan sebelum sampai pada tujuan akhir perjalanan kita.Ada beberapa hal yang perlu kita tanamkan dalam jiwa setiap kita, manakala kita berharap menjadi manusia yang ikhlash, mukhlish.

1. Kuatkan komitmen hati
Hati adalah pangkal segala amal, tempat niat kita tanamkan. Maka tancapkanlah niat kita untuk senantiasa mengikhlashkan setiap langkah kita hanya karena Allah. Karena Allah-lah satu-satunya dzat yang kekal dan satu-satunya harapan. Sungguh akan sangat rugi jika setiap amal yang kita lakukan hanya karena pamrih sesuatu yang sifatnya nisby, bagai fatamorgana.

2. Ber’amal tanpa henti
Setiap kita diperintahkan Allah untuk tidak pernah berhenti dalam ber’amal.

"Apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Rabbmu hendaknya kamu berharap“ [QS. 94 : 7-8]

Sangatlah logis jika seorang muslim sibuk dengan amal-amal sholih, maka tak ada lagi kesempatan bagi dirinya untuk membanggakan amal-amalnya karena semua waktu sudah habis terisi oleh ama-amal sholih. Sedang mereka yang beramal sedikit dan lebih banyak meluangkan waktu dalam kesehariannya, sangat mungkin untuk lebih banyak bercerita tentang amal-amal yang pernah ia lakukan sembari membanggakan diri dengan amal-amalnya itu. Pepatah arab menangatakan :"Serahkanlah urusan itu kepada mereka yang sibuk, niscaya ia akan selesai dengan baik“Demikianlah, karena mereka yang terbiasa sibuk sudah lihai dalam mengatur waktu dan memprogram kegiatan-kegiatan yang positif dalam mengisi hari-harinya.

3. Tawakkal pada Ilahi
“Apabila kamu sudah berazam, maka bertawakkal-lah pada Allah…”Seorang yang ikhlash tidak akan surut dan berkecil hati manakala pekerjaan yang ia lakukan belum membuahkan hasil seperti apa yang diharapkannya, akan tetapi ia akan terus berusaha sepenuh kemampuannya untuk melaksanakan semua program yang telah dirancangnya, lalu ia tutup amal sholihnya dengan tawakkal (menyerahkan urusan hasilnya) kepada Allah.„Hasil“ sebagai buah karya yang kita senantiasa dambakan acapkali berbeda dengan apa yang kita harap-harapkan. Setiap mu’min hendaknya sadar bahwa hasil bukanlah haq kita untuk mengurusinya, tapi ia merupakan hak Allah dan hanya Allah-lah yang akan mengaturnya, memberikannya langsung,menundanya, atau bahkan tidak memberikannya. Semata kita sebagai hamba hanya berhaq berhusnuzhan pada Allah atas apapun hasil yang nampak dari buah kerja kita (setelah melalui perencanaan yang matang tentunya), sebab hak kita adalah bekerja dan bekerja, merencanakan dengan baik program kita lalu melaksanakannya dengan baik pula, seperti telah dikutif dari surat At Taubah : 105 dan Alam Nashrah : 1-8 diatas.

4. Muhasabah tuk evaluasi diri
Ini adalah hal penting yang senantiasa harus ada pada setiap kita. Senantiasalah kita melakukan evaluasi diri, koreksi pribadi, dan membuat perencanaan bekal yang memadai untuk menemui Allah SWT di mizan nanti.„Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah. Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dipersiapkannya utuk hari esok..“Ummar ibnul Khattab R.A. mengatakan :"Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab...“Muhasabah, adalah bentuk keikhlasan seorang hamba yang merasa dirinya tidak pernah lebih dari yang lainnya, bahkan amat sangat banyak kekurangannya sehingga setiap saat ia harus senantiasa melakukan koreksi dan evaluasi demi kebaikan dan peningkatan amal shalihnya dimasa yang akan datang.

Saudaraku, semoga Allah memberikan kita cahaya petunjuk dan menguatkan kita untuk senantiasa ber’amal shalih dengan mengikhlashkan diri hanya padaNya.

Andai saja raga ini milikku
Niscaya kan kurobek ia hingga lumat lalu kubuatkan yang baru
Andai saja jiwa ini milikku
Niscaya kan ku cerabut ia dari raganya lalu kuganti dengan yang baru

Andai semua yang ada padaku adalah milikku
Maka akan kulakukan semua yang kumau
Dan tak akan tersisa sedikitpun dari bersit pikiran ini agar menjadi nyata
Hatta ia sebuah kegilaan yang amat gila...!

Tapi sayang...
Raga ini bukan milikku
Jiwa ini pun bukan punyaku
Dan setiap gelinjang keinginan ini tidaklah berhak sepenuhnya atas jiwa dan ragaku
Kecuali hanya sedikit dari sepersekian juta hak yang ada

Harus kupenuhi hak jiwa dan ragaku
Harus kutunaikan hak pemilik jiwa dan ragaku
Karena Allahlah yang memberiku asa
Karena Dia yang memberiku kuasa
Bahkan untuk kuasa nafas dan kehendakpun aku tak kuasa..

Lalu mana yang ku punya..?
Tak Ada..!!!
Kecuali hanya angan nisbi di juntai pelangi
Dan bayang keinginan yang menumbuki pagi
Hingga hanya padaNya...UntukNya...KarenaNya...
Dan diatas KuasaNyaKita ada dan tiada..