Bismillahirrahmaanirrahiim,
Segala puji bagi Allah, Dzat pencipta dan penguasa semua yang ada, pernah ada, dan akan ada. Dialah sang Ahad, padaNya bergantung setiap sesuatu, padaNya semua mahluk berharap, padaNya setiap yang bernyawa meminta. Tidaklah dia beranak dan tidak pula diperanakan. Sungguh Dialah Allah, Dzat yang Maha atas segalanya, tak ada yang layak di persamakan denganNya apalagi melebihinya.Shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada sang teladan manusia, guru manusia, imamnya para nabi, baginda yang mulia Muhammad salallahu `alaihi wa alihi wa salam, juga kepada para shahabatnya, para tabi`in, para `ulama terdahulu dan kemudian, juga kepada siapa saja yang bersunnah dengan sunnahnya, berda`wah seperti baginda nabi berda`wah, dan berjihad dengan sebenar-benarnya jihad hingga sampai suatu hari yang tak ada lagi hari di dunia ini setelah hari itu.

Melihat sebuah judul yang bertengger diatas, hati saya tergetar kala membacanya bahkan hingga berulang-ulang, tangis inipun tak terelakan kala menyadari betapa sebuah kata yang berarti sangat dalam, tapi sungguh masih jauh panggang dari api manakala melihat keadaan diri pribadi dengan apa yang dituliskan dalam judul diatas, dia baru mulai jadi angan-angan, bahkan mungkin juga baru mulai jadi angan-angan pada setiap kita.Saudaraku, izinkan tulisan ringan ini saya buat, semata menasihati diri saya yang tengah kerontang dari kesuburan iman, yang tengah basi dari lezatnya munajat, yang tengah kering dari basahnya dzikir, dan tengah miskin dari kekayaan amal shalih yang hanya pamrih untuk Allah saja, tak ada selainNya.

Ikhlas berarti membersihkan tujuan beribadah kepada Allah SWT dari segala noda yang mengotorinya, memfokuskan ibadah hanya kepada Allah SWT, Ikhlas merupakan syarat diterimanya amal shalih yang berlandaskan sunnah Rasulullah saw. Dan Allah senantiasa memerintahkan kita untuk selalu ikhlas dalam beramal, firmanNya :

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam[menjalankan] agama yang lurus” [QS. 98:5].

Ikhlash, adalah parameter keberhasilan setiap langkah amal, adalah bukti kecintaan, adalah bukti kualitas diri seorang hamba dihadapan Khaliqnya. FirmanNya ;Katakanlah : “Dialah Allah yang ahad. Allah tempat bergantung segala seuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula di pernakan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”Sebuah tonggak Aqidah yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW kepada para shahabat beliau. Seperti halnya juga tonggak aqidah yang diajarkan oleh nabi-nabi sebelum Rasulullah SAW kepada ummat-ummat mereka, PENGESAAN ALLAH..!Demikianlah Allah mengajarkan kepada kita semua dalam penghambaan dan ketaatan kepadaNya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah, dikisahkan :Ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah dan bertanya : “apa yang akan diperoleh oleh seseorang yang berjuang karena ingin mendapatkan imbalan dan popularitas, yaa Rasulullah ?” Beliau (Rasulullah SAW) menjawab : “dia tidak akan mendapatkan apa pun”, lalu orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali dan Rasulullah tetap menjawab dengan jawaban yang sama, kemudian bersabda : “Allah hanya menerima amal yang disertai dengan keikhlasan dan karena ingin mencari ridhaNya”. [Hr. Abu Daud dan Nasa’i dengan sanad hasan]Ramadhan, sang tamu agung yang sekarang sedang bersama kita. Sangatlah layak kalau kita berguru padanya tentang sebuah makna ikhlash. Bagaimana tidak, ramadhan yang didalamnya ada shaum, ada qiyamurramadhan, ada laitaul Qadr dan ada amal-amal shalih lain yang dilakukan semata karena Allah tanpa peduli dengan pujian atau sanjungan orang lain.

Ikhlash tidak berarti melaksanakan sesuatu tanpa pamrih, tetapi ikhlash adalah melandaskan setiap amal kita dengan pamrih hanya kepada Allah, dengan mengharap ridha Allah (mengalihkan pamrih kita dari selain Allah kepada pamrih untuk mengharapkan ridha Allah). Seperti tercermin dalam hadits yang masyhur tentang niat.

Telah berkata Ummar Ibn al Khattab Abu Hafs al Amiirul mu`miniin R.A. bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya setiap amal itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap urusan didasarkan pada niatnya. Barang siapa yang berniat hijrah karena Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah berhijrah karena Allah dan RasulNya. Akan tetapi, barang siapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau perempuan yang hendak ia nikahi, maka sesungguhnya hijrahnya itu untuk apa yang ia niatkan" atau seperti apa yang disampaikan Rasulullah SAW. Hadits ahad dari Ummar Ibnul Khattab R.A, dengan derajat shahih melalui riwayat Bukhari dan Muslim.

Saudaraku, demikian indahnya Rasulullah SAW. menggambarkan sebuah keikhlashan dihadapan para shahabat yang dalam keadaan penekanan oleh kafir Quraish dan hijrahnya mereka dari makkah dengan tidak membawa barang-barang dunia yang layak untuk hidup mereka di tempat baru, kecuali hanya iman mereka kepada Allah, rasulNya, dan hari akhir.Saudaraku, mu’min yang ikhlash bukan saja akan disenangi saudaranya yang mu’min, tetapi juga disegani oleh iblish sekalipun. Ikhlash-lah yang menyelamatkan setiap mu’min dari tipudaya iblish laknatullah, seperti firman Allah :

Iblis menjawab : "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya. Kecuali hamba-hambaMu yang mukhlish diantara mereka.“ (QS. Shaad, 38 : 82-83)

Sungguh hanya dengan amal yang ikhlash-lah yang mampu membentuk pribadi muslim yang mutakamil, yang shalih dan men-sholihkan, seperti mutiara yang mengatakan :"Setiap manusia itu binasa, kecuali orang-orang yang berilmu. Dan setiap mereka yang berilmupun binasa, kecuali orang-orang yang ber`amal. Dan setiap mereka yang ber`amalpun binasa, kecuali mereka yang ikhlash dalam amalnya"Namun saudaraku, ternyata jalan menuju ikhlash tidaklah mulus, tetapi justru sangat banyak onak dan duri yang bertebaran dijalannya. Sungguh amat banyak tipu muslihat yang siap menggelincirkan setiap kita dari ber’amal ikhlash, dari mulai ta’ajub pada kelebihan diri sendiri, riya dan sum’ah, hingga menyombongkan diri dihadapan Allah azza wajalla.Seorang sholih Muhammad bin Sirrin mengatakan :"Sungguh telah riya orang yang ber’amal hanya karena ingin dilihat orang, dan orang yang tidak jadi beramal karena takut dilihat orang pun telah dijangkiti penyakit riya“Jika demikian, bagaimana kita harus ber’amal ?

Dan Katakanlah : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakanNya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.“ (QS. At Taubah, 9 : 105)

Seseorang yang ber’amal dikatakan ikhlash, manakala ia ber’amal sama banyak dan kualitasnya baik ketika dikeramaian orang maupun disaat sendirian, bahkan ia meningkatkan kualitas amalnya disaat-saat sendirian karena kecintaanya kepada Allah.

Saudaraku, membangun pribadi menjadi ikhlash seperti berjalan diatas jalanan yang dipenuhi duri, sedikit saja kita salah melangkah, maka kaki akan tergores dan sakit. Semakin sering kita salah melangkah, bukan tidak mungkin kalau akhirnya kita harus terkapar ditengah jalan sebelum sampai pada tujuan akhir perjalanan kita.Ada beberapa hal yang perlu kita tanamkan dalam jiwa setiap kita, manakala kita berharap menjadi manusia yang ikhlash, mukhlish.

1. Kuatkan komitmen hati
Hati adalah pangkal segala amal, tempat niat kita tanamkan. Maka tancapkanlah niat kita untuk senantiasa mengikhlashkan setiap langkah kita hanya karena Allah. Karena Allah-lah satu-satunya dzat yang kekal dan satu-satunya harapan. Sungguh akan sangat rugi jika setiap amal yang kita lakukan hanya karena pamrih sesuatu yang sifatnya nisby, bagai fatamorgana.

2. Ber’amal tanpa henti
Setiap kita diperintahkan Allah untuk tidak pernah berhenti dalam ber’amal.

"Apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Rabbmu hendaknya kamu berharap“ [QS. 94 : 7-8]

Sangatlah logis jika seorang muslim sibuk dengan amal-amal sholih, maka tak ada lagi kesempatan bagi dirinya untuk membanggakan amal-amalnya karena semua waktu sudah habis terisi oleh ama-amal sholih. Sedang mereka yang beramal sedikit dan lebih banyak meluangkan waktu dalam kesehariannya, sangat mungkin untuk lebih banyak bercerita tentang amal-amal yang pernah ia lakukan sembari membanggakan diri dengan amal-amalnya itu. Pepatah arab menangatakan :"Serahkanlah urusan itu kepada mereka yang sibuk, niscaya ia akan selesai dengan baik“Demikianlah, karena mereka yang terbiasa sibuk sudah lihai dalam mengatur waktu dan memprogram kegiatan-kegiatan yang positif dalam mengisi hari-harinya.

3. Tawakkal pada Ilahi
“Apabila kamu sudah berazam, maka bertawakkal-lah pada Allah…”Seorang yang ikhlash tidak akan surut dan berkecil hati manakala pekerjaan yang ia lakukan belum membuahkan hasil seperti apa yang diharapkannya, akan tetapi ia akan terus berusaha sepenuh kemampuannya untuk melaksanakan semua program yang telah dirancangnya, lalu ia tutup amal sholihnya dengan tawakkal (menyerahkan urusan hasilnya) kepada Allah.„Hasil“ sebagai buah karya yang kita senantiasa dambakan acapkali berbeda dengan apa yang kita harap-harapkan. Setiap mu’min hendaknya sadar bahwa hasil bukanlah haq kita untuk mengurusinya, tapi ia merupakan hak Allah dan hanya Allah-lah yang akan mengaturnya, memberikannya langsung,menundanya, atau bahkan tidak memberikannya. Semata kita sebagai hamba hanya berhaq berhusnuzhan pada Allah atas apapun hasil yang nampak dari buah kerja kita (setelah melalui perencanaan yang matang tentunya), sebab hak kita adalah bekerja dan bekerja, merencanakan dengan baik program kita lalu melaksanakannya dengan baik pula, seperti telah dikutif dari surat At Taubah : 105 dan Alam Nashrah : 1-8 diatas.

4. Muhasabah tuk evaluasi diri
Ini adalah hal penting yang senantiasa harus ada pada setiap kita. Senantiasalah kita melakukan evaluasi diri, koreksi pribadi, dan membuat perencanaan bekal yang memadai untuk menemui Allah SWT di mizan nanti.„Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah. Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dipersiapkannya utuk hari esok..“Ummar ibnul Khattab R.A. mengatakan :"Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab...“Muhasabah, adalah bentuk keikhlasan seorang hamba yang merasa dirinya tidak pernah lebih dari yang lainnya, bahkan amat sangat banyak kekurangannya sehingga setiap saat ia harus senantiasa melakukan koreksi dan evaluasi demi kebaikan dan peningkatan amal shalihnya dimasa yang akan datang.

Saudaraku, semoga Allah memberikan kita cahaya petunjuk dan menguatkan kita untuk senantiasa ber’amal shalih dengan mengikhlashkan diri hanya padaNya.

Andai saja raga ini milikku
Niscaya kan kurobek ia hingga lumat lalu kubuatkan yang baru
Andai saja jiwa ini milikku
Niscaya kan ku cerabut ia dari raganya lalu kuganti dengan yang baru

Andai semua yang ada padaku adalah milikku
Maka akan kulakukan semua yang kumau
Dan tak akan tersisa sedikitpun dari bersit pikiran ini agar menjadi nyata
Hatta ia sebuah kegilaan yang amat gila...!

Tapi sayang...
Raga ini bukan milikku
Jiwa ini pun bukan punyaku
Dan setiap gelinjang keinginan ini tidaklah berhak sepenuhnya atas jiwa dan ragaku
Kecuali hanya sedikit dari sepersekian juta hak yang ada

Harus kupenuhi hak jiwa dan ragaku
Harus kutunaikan hak pemilik jiwa dan ragaku
Karena Allahlah yang memberiku asa
Karena Dia yang memberiku kuasa
Bahkan untuk kuasa nafas dan kehendakpun aku tak kuasa..

Lalu mana yang ku punya..?
Tak Ada..!!!
Kecuali hanya angan nisbi di juntai pelangi
Dan bayang keinginan yang menumbuki pagi
Hingga hanya padaNya...UntukNya...KarenaNya...
Dan diatas KuasaNyaKita ada dan tiada..

Rasulullah menatap satu persatu para sahabat yang sedang berkumpul dalam majelis, hening dan tawadlu. “Ya Rasulullah”, ujar salah seorang hadirin memecahkan keheningan. “Bila pertanyaanku ini tidak menimbulkan kemarahan bagi Allah, sudilah engkau menjawabnya”. “Apa yang hendak engkau tanyakan itu”, tanya Rasulullah dengan nada suara yang begitu lembut. Dengan sikap yang agak tegang si sahabat itupun langsung bertanya: “Siapakah diantara kami yang akan menjadi ahli surga?” Tiba-tiba, bagai petir menyambar, jiwa-jiwa yang tadinya tawadlu, nyaris menjadi luka karena murka. Pertanyaan yang sungguh keterlaluan, setengah sahabat menilainya mengandung ujub (bangga atas diri sendiri) atau riya’. Adalah Umar bin Khattab yang sudah terlebih dahulu bereaksi, bangkit untuk menghardik si penanya. Untunglah Rasulullah menoleh ke arahnya sambil memberi isyarat untuk menahan diri.

Rasulullah menatap ramah, beliau dengan tenangnya menjawab: “Engkau lihatlah ke pintu, sebentar lagi orangnya akan muncul”. Lalu setiap pasang matapun menoleh ke ambang pintu, dan setiap hati bertanya-tanya, siapa gerangan orang hebat yang disebut Rasulullah ahli surga itu. Sesaat berlalu dan orang yang mereka tunggupun muncul. Namun manakala orang itu mengucapkan salam kemudian menggabungkan diri ke dalam majelis, keheranan mereka semakin bertambah. Jawaban Rasulullah rasanya tidak sesuai dengan logika mereka. Sosok tubuh itu tidak lebih dari seorang pemuda sederhana yang tidak pernah tampil di permukaan. Ia adalah sepenggal wajah yang tidak pernah mengangkat kepala bila tidak ditanya dan tidak pernah membuka suara bila tidak diminta. Ia bukan pula termasuk dalam daftar sahabat dekat Rasulullah. Apa kehebatan pemuda ini? Setiap hati menunggu penjelasan Rasulullah. Menghadapi kebisuan ini, Rasulullah bersabda:

“Setiap gerak-gerik dan langkah perbuatannya hanya ia ikhlaskan semata-mata mengharapkan ridla Allah. Itulah yang membuat Allah menyukainya”.

Betapa tinggi nilai ikhlas dalam amal perbuatan seseorang, sampai Rasulullah menyebutkan sebagai salah satu syarat ahli surga. Posisi ikhlas dalam Islam memang sangat penting, karena ikhlas dianggap sebagai ukuran amal seseorang. Allah SWT berfirman:

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Al Bayyinah: 5)

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan ? (An-Nisa’: 125)

Sekarang marilah kita ber-muhasabah dan menilai diri kita sendiri, “Sudahkah kita ikhlas dalam setiap amal perbuatan kita ?”

Ikhlas ditinjau dari sisi lughawi berasal dari kholusho, yaitu kata kerja intransitif yang artinya bersih dan murni, atau bisa juga diartikan tidak ternoda (terkena campuran). Selanjutnya setelah mengalami penambahan huruf menjadi akhlasho maka kata itu berubah menjadi transitif yang berarti membersihkan atau memurnikan. Menurut Imam Al Ghazali ikhlas memiliki lawan kata isyrak (menyekutukan). Jadi siapa yang tidak ikhlas dalam beramal, sebenarnya telah berbuat syirik, tentu saja tergantung tingkatan dari syirik tersebut.

Ikhlas dan lawannya senantiasa datang kepada hati, dan tempatnya adalah hati, sehingga ikhlas berkenaan dengan tujuan dan niat seseorang. Secara umum banyak ulama mengatakan bahwa amalan hati lebih penting dan ditekankan daripada amalan lahiriyah.

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Bahwasanya amalan hati merupakan pokok keimanan dan landasan utama agama, seperti mencintai Allah dan rasulNya, bertawakal kepada Allah, ikhlas dalam menjalankan agama semata-mata karena Allah, bersyukur kepadaNya, bersabar atas keputusan atau hukumNya, takut dan berharap kepadaNya, dan ini semua menurut kesepakatan para ulama adalah perkara wajib”. Sedangkan Ibnu Qayyim menyatakan bahwa: “Amalan hati merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna”.

Pada hakekatnya, niat adalah sesuatu yang mengacu kepada berbagai respon berbagai hal yang membangkitkan. Apabila faktor pembangkitnya hanya satu, maka perbuatan itu disebut ikhlas dalam kaitannya dengan apa yang diniatkan, yaitu Allah. Siapa yang tujuannya semata-mata untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah maka dia disebut orang yang mukhlish.

Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). (Az-Zumar: 2-3)

Apabila faktor pembangkit tersebut ada dua atau lebih, maka sudah bisa dikategorikan bahwa tanda-tanda tidak ikhlas telah muncul ke dalam hati kita. Faktor pembangkit lain dalam amal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:

Riya’, yang berarti memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
Sum’ah, yang berarti beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
Ujub, masih termasuk kategori riya’, hanya saja Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: Riya’ masuk didalam bab menyekutukan Allah dengan makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri sendiri.

Kalau kita mau jujur, ikhlas dalam amal adalah sesuatu yang cukup sulit kita lakukan, dan perlu usaha terus menerus untuk melatih, dan mengevaluasinya secara terus menerus. Riya’, sum’ah dan ujub adalah penyakit hati yang bukan monopoli umat Islam secara umum. Seseorang mujahid yang pergi jihad, ataupun seorang da’i (ustadz) yang pergi berdakwah pun harus selalu membersihkan diri supaya terhindar dari penyakit hati ini. Da’i atau ustadz yang pergi berdakwah bisa rusak keikhlasannya dalam tiga keadaan waktu:


Rusak di awal. Ketidakikhlasan pada awal ialah berniat ingin popular, terkenal, mencari uang semata, untuk menghantam orang lain, dsb. Apabila semua ini terlintas di hati, maka seluruh amalannya itu tertolak, ibaratnya bagaikan kita melukis di atas air. Tidak ada pahala amalan tersebut untuk kita.
Rusak di tengah. Contohnya semasa sedang ceramah melihat orang ramai mengangguk-angguk dan begitu khusyuk mendengar, maka merasa diri hebat (ujub). Ibaratnya bagaikan kita membangun rumah yang tidak pernah jadi-jadi, karena gangguan di sana dan disini.
Rusak di akhir. Selepas ceramah, dalam perjalanan pulang ada orang yang memuji, maka hati menjadi berkembang-kembang. Pada waktu itulah sifat ujub datang, dan kita lupa bahwa semuanya adalah dari Allah, dan lupa bahwa kita beramal adalah untuk Allah semata. Ibaratnya rumah yang sudah dibangun dan bentuknya sangat indah, tiba-tiba runtuh rata dengan tanah.

Dalam suatu hadits dinyatakan, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur’an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori’ atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut, akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka. Na’udzu billah min dzalik.

Sekali lagi sebelum terlambat segala sesuatunya, sebelum datang keputusan akhir dari Allah kepada kita, dan sebelum akhirnya kita dihisab oleh Allah, marilah kita menghisab diri dan hati kita, “Ikhlaskah saya dalam beramal ?”

“Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kaumu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfal:63).

Berkenaan dengan upaya peningkatan ukhuwah Islamiyah ini, saya ingin share satu uraian yang saya rangkum dari tulisan Dr. AbduLlah Nasikh 'Ulwan dalam bukunya "Ukhuwah Islamiyah". Tulisan yang dilandasi dengan pengalaman beliau di lapangan da'wah, merinci tahapan-tahapan (marahil) yang pernah ditempuh oleh RasuluLlah dan para sahabat, dan selayaknya merupakan dasar pijakan kita dalam membina ukhuwah Islamiyah, di negeri manapun kita berada. Program penguatan ikatan ukhuwah Islamiyyah membutuhkan proses yang tidak singkat, bertahap dan berkesinambungan. Setidaknya ada empat tahap yang mesti dilalui sebelum terwujudnya ukhuwah Islamiyyah yang benar-benar kuat dan utuh.

1. Tahap Saling Kenal (Ta'aruf).Dalam tahap ini, seorang muslim tidak hanya mengenal begitu saja saudaranya; akan tetapi lebih jauh mencoba mengenali penampilan, sifat-sifat (shaksiyah) dan pemikiran saudaranya. pengenalan dalam tahap ini mencakup aspek jasadiy (fisik), fikriy(pemikiran) dan nafsiy (kejiwaan).

2. Tahap Saling Memahami (Tafahum). Ini merupakan tahap yang penting, karena mencakup berbagai proses penyatuan. Seperti juga dalam fase pertama, ruang lingkup proses tafahum ini kurang lebih sama. Perbedaannya terletak pada intensitas pengenalan. Pada tahap ini, setiap muslim dituntut untuk memahami kebiasaan, kesukaan, karakter, ciri khas individu dan juga cara berpikir saudaranya. Dengan demikian perasaan perasaan seperti "tidak enak", "tidak cocok" dan lain sebagainya dapat dieliminasi dalam rangka saling menasehati. Dalam tahapan ini terdapat tiga buah proses perpaduan, yang meliputi:

2.1. Perpaduan hati (Ta'liful Qulb).Penyatuan hati merupakan asas awal yang mesti ada dalamproses pembentukan ukhuwah, sebab hati (qalbu) merupakan sumber gerak dan sikap seseorang dalam menilai, memilih, memilah, mencinta dan membenci orang lain. Bila hati telah terpaut dan jiwa telah terpadu, barulah persaudaraan seseorang dengan yang lainnya bisa berjalan mulus, bersih dan penuh rasa kasih. Hati manusia hanya bisa disatukan secara murni dan bersih apabila bermuara pada satu simpul ikatan yang fitrah. Simpul tali itu adalah aqidah (seperti yang telah dibahas Abu Zahra). Inilah satu-satunya dasar berpijak, bertemu dan pengikat yang utuh dan abadi (Ali Imran:103).

2.2. Perpaduan Pemikiran (Ta'liful Afkar).Dalam proses ini, orang-orang yang sudah sehati sepatutnya berhimpun bersama untuk mempelajari suatu sumber yang sama sehingga menghasilkan suatu fikrah (cara berfikir) yang serupa. Dan yang jauh lebih penting adalah bila terjadi perbedaan cara pandang, maka dengan starting point cara berpikir yang sama akan dapat diselesaikan dengan segera, sehingga dapat meningkatkan efektifitas kerja. Ikatan ukhuwah Islamiyyah adalah ikatan yang aktif dan dinamis dalam menegakkan kalimat ALlah. Untuk itu diperlukan tidak hanya sekedar hati yang ikhlas tetapi juga gagasan, pemikiran, konsep dan idealisme yang cemerlang. Meskipun sekelompok individu telah saling mengikatkan diri, sehati dan sejiwa; namun karena terdapat perbedaan orientasi dan wawasan pemikiran, maka strategi dan taktik pun menjadi berantakan. Akhirnya kerja berakhir pada kegagalan dan kekalahan. Oleh karena itulah tahap "penyatuan pemikiran" ini mutlak adanya.

2.3. Perpaduan Kerja (Ta'liful 'Amal)Individu-individu yang telah berhimpun di atas persamaan tujuan dan pemikiran ini, tidak boleh hanya berdiam diri saja atau bekerja sendiri-sendiri (single fighter). Adalah merupakan sunatuLlah bahwa segala yang diam di tempat, cenderung menjadi penyakit. Air yang tergenang bisa menjadi sumber penyakit, demikian pula dengan kumpulan individu yang bersemangat tinggi dan memiliki setumpuk gagasan cemerlang, akan menjadi "penyakit" bila tidak ada langkah kerjanya. Oleh karena itu sangat perlu adanya kerja nyata dalam berbagai bidang dan keahlian. Agar kerja itu efektif, maka harus terakit dalam suatu kerja yang terarah.

3. Tahap Saling Tolong (Ta'awun).Dalam proses penyatuan kerja, mutlak diperlukan adanya tolong-menolong yang merupakan kelanjutan dari tahap tafahum (saling memahami) pada point 2 di atas. Saling kenal saja, tanpa dilanjutkan dengan saling memahami, tidak akan mampu membentuk hubungan antar individu yang mampu tolong menolong, saling isi-mengisi dengan kekurang dan kelebihan yang terdapat pada tiap individu.

4. Rasa Senasib Sepenanggungan (Takaful).Tahap ini merupakan muara dari proses ukhuwah Islamiyyah yaitu terletak pada timbulnya rasa senasib dan sepenanggungan, suka maupun duka, dalam tiap langkah kerja. Bila fase takaful ini terwujud, maka ikatan ukhuwah Islamiyyah pun terbentuk dengan utuh.
Ikhwan/akhwat fiLlah, dari rangkuman ini dapat kita lihat bahwa upaya penyatuan pribadi-pribadi muslim dalam suatu kerja Islami adalah merupakan perbuatan yang sia-sia, bila tidak diawali dengan tahapan dan proses yang telah disebutkan di atas.